BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Keragaman
atau kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus bukti nyata dalam
kehidupan di masyarakat. Keragaman atau pluralis merupakan salah satu realitas utama yang
dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu
mendatang sebagai fakta, keragaman
sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi diterima sebagai fakta yang dapat
memperkaya kehidupan bersama, tetapi di sisi lain dianggap sebagai faktor
penyulit. Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat yang besar, namun juga dapat
menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan masyarakat sendiri jika tidak
dikelola dengan baik. Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan
keragaman identitas yang disandang. Kesetaraan merupakan hal yang inheren yang dimiliki
manusia sejak lahir. Setiap individu memiliki hak-hak dasar yang sama yang
melekat pada dirinya sejak dilahirkan atau yang disebut dengan hak asasi
manusia. Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan dapat terwujud dalam praktik
nyata dengan adanya pranata-pranata sosial, terutama pranata hukum, yang
merupakan mekanisme kontrol yang secara ketat dan adil mendukung dan mendorong
terwujudnya prinsip hidup pluralis dalam
kehidupan nyata. Kesetaraan derajat individu melihat individu sebagai manusia
yang berderajat sama dengan meniadakan hierarki atau jenjang sosial yang
menempel pada dirinya berdasarkan atas asal rasial, sukubangsa, kebangsawanan,
atau pun kekayaan dan kekuasaan. Di Indonesia, berbagai konflik
antarsukubangsa, antarpenganut keyakinan keagamaan, ataupun antarkelompok telah
memakan korban jiwa dan raga serta harta benda, seperti kasus Sambas, Ambon,
Poso dan Kalimantan Tengah. Masyarakat majemuk Indonesia belum menghasilkan
tatanan kehidupan yang egalitarian dan demokratis. Persoalan-persoalan tersebut
sering muncul akibat adanya dominasi sosial oleh suatu kelompok. Adanya
dominasi sosial didasarkan pada pengamatan bahwa semua kelompok manusia
ditujukan kepada struktur dalam sistem hirarki sosial suatu kelompok. Di
dalamnya ditetapkan satu atau sejumlah kecil dominasi dan hegemoni kelompok
pada posisi teratas dan satu atau sejumlah kelompok subordinat pada posisi
paling bawah. Di antara kelompok-kelompok yang ada, kelompok dominan dicirikan
dengan kepemilikan yang lebih besar dalam pembagian nilai-nilai sosial yang
berlaku. Adanya dominasi sosial ini dapat mengakibatkan konflik sosial yang
lebih tajam. Negara-bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis,
budaya, agama, dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Berbagai keragaman masyarakat Indonesia
terwadahi dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentuk
dengan karakter utama mengakui pluralitas dan kesetaraan warga bangsa. NKRI
yang mengakui keragaman dan menghormati kesetaraan adalah pilihan terbaik untuk
mengantarkan masyarakat Indonesia pada pencapaian kemajuan peradabannya.
Cita-cita yang mendasari berdirinya NKRI yang dirumuskan para pendiri bangsa
telah membekali bangsa Indonesia dengan konsepsi normatif negara bangsa
Bhinneka Tunggal Ika yang sejalan dengan prinsip hidup pluralis, membekali
hidup bangsa dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Hal tersebut merupakan
kesepakatan bangsa yang bersifat mendasar. Konstitusi secara tegas menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara yang berkesetaraanyang identik dengan prinsip
hidup pluralis. Dalam Al- Qur’an disebutkan
:
Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (
Q.S . Al- Hujurat : 13 ). [1]
Pasal 27
menyatakan: “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan”[2]
adalah rujukan yang melandasi seluruh produk hukum dan ketentuan moral yang
mengikat warga negara. Keberagaman bangsa yang berkesetaraan akan merupakan
kekuatan besar bagi kemajuan dan kesejahteraan negara bangsa Indonesia. Negara
bangsa yang beragam yang tidak berkesetaraan, lebih-lebih yang diskriminatif,
akan menghadirkan kehancuran. Semangat multikulturalisme dengan dasar
kebersamaan, toleransi, dan saling pengertian merupakan proses terus-menerus,
bukan proses sekali jadi dan sesudah itu berhenti. Di sinilah setiap komunitas
masyarakat dan kebudayaan dituntut untuk belajar terus-menerus atau belajar
berkelanjutan. Proses pembelajaran semangat multikulturalisme terus-menerus dan
berkesinambungan dilakukan. Untuk itu, penting kita miliki dan kembangkan
kemampuan belajar hidup bersama dalam multikulturalisme masyarakat dan
kebudayaan Indonesia. Kemampuan belajar hidup bersama di dalam perbedaan inilah
yang mempertahankan, bahkan menyelamatkan semangat multikulturalisme. Tanpa
kemampuan belajar hidup bersama yang memadai dan tinggi, niscaya semangat
multikulturalisme akan meredup. Sebaliknya, kemampuan belajar hidup bersama
yang memadai dan tinggi akan menghidupkan dan memfungsionalkan semangat
multikulturalisme. Proses pembelajaran semangat multikulturalisme atau kemampuan
belajar hidup bersama di tengah perbedaan dapat dibentuk, dipupuk, dan atau
dikembangkan dengan kegiatan, keberanian melakukan perantauan budaya (cultural
passing over), pemahaman lintas budaya (cross cultural understanding), dan
pembelajaran lintas budaya (learning a cross culture)[3].
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1.Keragaman dan kesetaraan
adalah hal yang saling berkaitan satu
sama lain
2.Keragaman dan kesetaraan
adalah sifat dasar dari manusia dan
bangsa Indonesia
menjadikan sebagai bingkai dasar Negara
kesatuan Republik Indonesia
3.Mengetahui dan mengenali bagaimana masyarakat Indonesia
mengelola keragaman dan kesetaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Semboyan
“Bhineka Tunggal Ika”
1.3. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah
untuk menambah pengetahuan di Bidang Ilmu Tasyawuf dan menambah pemahaman tentang kemajemukan
diharapkan bermanfaat bagi kita semua.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Wahdat
Al- Adyan ( Prinsip Hidup Pluralis ).
Pengertian Prinsip Hidup Pluralis menurut bahasa adalah
, prinsip : dasar , azas , pedoman , pokok dasar berpikir dan bertindak
. Hidup: masih terus ada , bergerak dan bekerja sebagaimana
mestinya .Pluralis : hal yang menyatakan banyak atau lebih dari satu. Sedangkan
pengertian Prinsip hidup pluralis menurut istilah adalah statu pedoman
hidup yang mau menerima dan
menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya
dan nilai kepribadian dari kalangan
manapun .[4]
Manusia dalam
kehidupan sehari-hari selalu berkaitan dengan konsep kesetaraan dan keragaman
yang lazim kita sebut prinsip hidup pluralis . Prinsip hidup plurales dapat dikaji dengan pendekatan formal dan pendekatan
substantif. Pada pendekatan formal kita mengkaji prinsip tersbut berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku,
baik berupa undang-undang, maupuin norma, sedangkan pendekatan substantif
mengkaji konsep plurales berdasarkan
keluaran / output, maupun proses terjadinya. Konsep / prinsip hidup plurales biasanya dihubungkan dengan gender, status
sosial, dan berbagai hal lainnya yang mencirikan perbedaan-perbedaan serta
persamaan-persamaan. Sedangkan konsep keragaman merupakan hal yang wajar
terjadi pada kehidupan dan kebudayaan umat manusia. Kalau kita perhatikan lebih
cermat, kebudayaan Barat dan Timur mempunyai landasan dasar yang bertolak
belakang. Kalau di Barat budayanya bersifat antroposentris (berpusat pada
manusia) sedangkan Timur, yang diwakili oleh budaya India, Cina dan Islam,
menunjukkan ciri teosentris (berpusat pada Tuhan. Dengan demikian konsep-konsep
yang lahir dari Barat seperti demokrasi, mengandung elemen dasar serba manusia,
manusia-lah yang menjadi pusat perhatiannya. Sedangkan Timur mendasarkan segala
aturan hidup, seperti juga konsep pluralis dan keberagaman, berdasarkan apa
yang diatur oleh Allah melalui
ajaran-ajarannya. Penilaian atas realisasi pluralis dan keragaman pada umat
manusia, khususnya pada suatu masyarakat, dapat dikaji dari unsur-unsur
universal kebudayaan pada berbagai periodisasi kehidupan masyarakat. Sehubungan
dengan itu Negara kebangsaan Indonesia terbentuk dengan ciri yang amat unik dan
spesifik. Berbeda dengan Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Yunani, yang
menjadi suatu negara bangsa karena kesamaan bahasa. Atau Australia, India, Sri
Lanka, Singapura, yang menjadi satu bangsa karena kesamaan daratan. Atau
Jepang, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah, yang menjadi satu negara
karena kesamaan ras. Indonesia menjadi satu negara bangsa meski terdiri dari
banyak bahasa, etnik, ras, dan kepulauan. Hal itu terwujud karena kesamaan
sejarah masa lalu; nyaris kesamaan wilayah selama 500 tahun ,Kerajaan Sriwijaya
dan 300 tahun ,Kerajaan Majapahit dan sama-sama 350 tahun dijajah Belanda serta
3,5 tahun oleh Jepang [5].
2.1.1 Mengenali dan mengelola keragaman masyarakat
di Indonesia
Tidak ada
masyarakat yang seragam. Setiap kelompok, baik di tingkat negara maupun di
tingkat komunitas, dibangun atas berbagai macam identitas. Untuk dapat
berfungsi dengan baik, kelompok tersebut harus mampu mengenali dan mengelola
keragaman yang ada. Identitas dan Salient Identity Secara mudah, identitas
dapat diartikan sebagai ciri yang melekat atau dilekatkan pada seseorang atau
sekelompok orang. Beberapa identitas, misalnya ras dan usia, cenderung bersifat
given. Beberapa lainnya lebih merupakan pilihan, seperti agama, ideologi,
afiliasi politik, dan profesi. Di samping itu, ada pula identitas yang terkait
dengan pencapaian, seperti pemenang/pecundang, kaya/miskin, pintar/bodoh. Ada
kalanya, sebuah identitas terkesan lebih mencolok atau berarti dibanding
lainnya. Sebelum penghapusan politik Apartheid misalnya, warna kulit menjadi
identitas pembeda yang paling mencolok di Afrika Selatan. Pasca tragedi WTC,
identitas Muslim/nonMuslim yang sebelumnya tidak terlalu mendapat perhatian
menjadi penting bagi masyarakat Amerika Serikat. Identitas agama dan etnisitas
biasanya mendapatkan perhatian lebih. Bisa jadi, ini karena keduanya dianggap
lebih rawan konflik dibandingkan identitas lain. Padahal, keragaman status
sosial (kaya/miskin, ningrat/jelata, berpendidikan/tidak berpendidikan),
kondisi fisik (sehat/sakit/diffable/butawarna), fungsi dan profesi
(produsen/konsumen, guru/siswa, dokter/pasien), jenis kelamin, usia, afiliasi
politik, ideologi, gaya hidup (moderat/militan), dan lain sebagainya juga perlu
dikelola. Hal ini bukan semata untuk mengurangi potensi konflik, melainkan juga
untuk memungkinkan pelayanan (publik) yang prima dan sesuai dengan kebutuhan
pengguna jasa. Sayang, slogan-slogan seperti Berbeda itu Indah, Bhinneka
Tunggal Ikadan Unity in Diversity lebih ditujukan untuk mengelola keragaman
agama dan etnisitas semata. Jumlah, Struktur, dan Identitas Dominan ,Does number count?
Apakah jumlah berpengaruh?
Pertanyaan ini penting dijawab ketika mengelola keragaman. Ada kalanya, ketidakselarasan hubungan sangat
terkait dengan ketimpangan jumlah (mayoritas-minoritas). Namun,
ketidakselarasan juga dapat timbul dari ketimpangan yang sifatnya lebih
strukturalseperti ketimpangan kekuasaan, sumber daya, pengaruh, keahlian, dan
sebagainya. Ketidakpekaan terhadap
komposisi mayoritas-minoritas serta ketimpangan struktural berperluang
memunculkan masalah. Beberapa di antaranya adalah: Tirani mayoritas
Dalam kelompok yang komposisi
mayoritas-minoritasnya mencolok, mekanisme-mekanisme pengambilan keputusan yang
menekankan pada jumlah (sepert imisalnya voting) perlu dihindari karena
cenderung melimpahkan kekuasaan pada mayoritas saja. Jika hubungan
mayoritas-minoritas tidak kondusif, kekuasaan yang terpusat pada mayoritas
dapat disalahgunakan. Salah satu contoh tirani mayoritas adalah ketika
mayoritas kulit putih Amerika Serikat di awal abad 20 memilih disahkannya
undang-undang segregasi berdasar warna kulit , akibatnya, orang kulit hitam
hanya boleh duduk di bagian belakang bus, hanya boleh menggunakan kamar mandi
khusus kulit hitam, hanya boleh menghadiri gereja dan sekolah kulit hitam, dll.
Ada banyak hal yang menyebabkan ketidakterwakilan. Di antaranya adalah
keberadaan minoritas atau kaum lemah yang “tidak nampak”, sehingga mereka tidak
dilibatkan dalam pengambilan keputusan, atau aspirasi mereka tidak dianggap
penting. Rapat desa misalnya, biasanya hanya mengundang laki-laki dewasa.
Contoh lain adalah pengambilan keputusan di lingkungan kampus atau asrama yang
tidak dikonsultasikan dengan mahasiswa atau penghuni asrama. Sistem dan sarana (publik) yang tidak ramah
guna. Umumnya, proses merancang sistem dan sarana (publik) hanya disesuaikan
dengan kebutuhan mayoritas atau kaum kuat. Hal ini dapat dilihat dari loket
pelayanan, letak telfon di box telfon umum, serta lubang kotak pos yang terlalu
tinggi untuk jangkauan anak-anak atau pengguna kursi roda.
Ada banyak cara mengelola keragaman antara
lain dapat dilakukan dengan:
Untuk
mendekonstruksi stereotip dan prasangka terhadap identitas lain
Untuk
mengenal dan berteman dengan sebanyak mungkin orang dengan identitas yang berbeda bukan sebatas kenal nama dan
wajah, tetapi mengenali latar belakang, karakter, ekspektasi, dll, makan
bersama, saling berkunjung, dll
Untuk
mengembangkan ikatan-ikatan (pertemanan, bisnis, organisasi, asosiasi, dll) yang bersifat inklusif dan lintas identitas,
bukan yang bersifat eksklusif
Untuk mempelajari ritual dan
falsafah identitas lain
Untuk mengembangkan empati
terhadap identitas yang berbeda
Untuk menolak berpartisipasi
dalam prilaku-prilaku yang
diskriminatif
2.1.2. Memahami Masyarakat Multikultural
Pemahaman
terhadap multikulturalisme sendiri sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pengertian
kebudayaan. Karena kata kebudayaan itulah, yang menjadi kunci pemahaman
konsep multikulturalisme. Kebudayaan merupakan sekumpulan nilai moral untuk
meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaan.
Multikulturalisme adalah sebuah paham yang mengakui adanya perbedaan
dalam kesetaraan, baik secara individual maupun kelompok dalam kerangka
kebudayaan. Heterogenitas [6].
2.2. Wahdat
Al- Adyan ( Prinsip Hidup
Pluralis ) Menurut Ajaran Tasyawuf.
Dimana- mana
belakangan ini , kita
mendengar sejumlah kelompok tertentu membenarkan kekerasan atas nama Islam
untuk membungkam oranglain. Perbedaan diantara ummat beragama dinafikan
dengan membenarkan tindak sewenang – wenang dan tidak beradap terhadap orang atau kelompok lain yang berbeda dengannya dan bukan lagi sebagai ’ hikmah ” atau moralitas. Padahal pada hakikatnya Islam itu
sebagai agama kaffah yang terdiri dari tiga komponen
yaitu : aqidah, syariah dan tasyawuf , mengapa mereka
itu tidak memahami ?
Berikut akan
dijelaskan inti dari
ajaran tasyawuf yang sejalan dengan
prinsip hidup pluralis , yang telah
disajikan oleh Prof. Dr.H.M. Amin
Syukur, M.A. pada kuliah hari selasa tanggal 15 Juni 2010, antara lain :
2.2.1 Inti dari
ajaran tasyawuf adalah :
Ø Penghayatan aqidah
dan ibadah ( ihsan ).
Ø Murakkobah ( merasa
diintai oleh allah SWT ).
Ø Taqorrub ( merasa dekat
dengan Allah SWT ).
Ø Munajat ( mampu berdialog dan berkomunikasi langsung denagan Allah SWT ).
Ø Berakhlakul karimah
( selalu berbuat baik ) baik
secara vertikal dengan sesama manusia maupun horizontal terhadap allah SWT .
2.2.2 Implementasi tasyawuf dalam kehidupan
sosial antara lain Sebagai
berikutt :
v Aktif dalam Ipoleksosbudhankam
v Einterprestasi ajaran tasyawuf yang disalahpersepsikan
v Berpikir positif
terhadap Allah , diri sendiri dan orang
lain.
v Dari pasif ke aktif, dari tafakkur ke tindakan
terbuka.
v Kesolehan
individual ke solehan sosial
v Seimbang dalam aspek sosial
v Seimbang dalam
aspek kehjidupan : jasmani rohani, dunia
akhirat, teologi , fiqh dan tasyawuf .
2.2.3. Hidup Bermasyarakat
Disamping
itu pula
Prof . Dr. H.M. Amin Syukur , M.A.
menyampaikan bahwa dalam hidup bermasyarakat itu hendaknya :
Saling menghormati, saling menghargai , tenggang
rasa dan lain – lain ,semuanya itu berpangkal pada hati sanubari ( qolb ).
Ketahuilah
bahwa pada diri manusia terdapat segumpal daging yang apabila
ia baik maka baiklah seluruh
tubuh , dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh , itulah yang
disebut qolb.[7]
Dari rangkaian
dan uraian diatas, jelaslah bahwa prinsip hidup pluralis merupakan
bagian dari ajaran tasyawuf .
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
3.1 Kesimpulan
Indonesia,
merupakan negara berkembang seperti negara lainnya memiliki permasalahan sosial
yang tidak sederhana. Namun, penting untuk dipertanyakan mengapa Indonesia
lebih tertinggal dari Malaysia atau Singapura, padahal Indonesia lebih awal
merdeka. Indonesia merupakan wilayah yang terdiri dari banyak suku dan memiliki
beraneka raga budaya, sehingga masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
multikultural bahkan sebagai salah satu negara multikultural terbesar didunia.
Kemajemukan tersebut sering menjadi kebanggan bangsa, banyak orang belum tau
dan menyadari bahwa kebanggan itu menyimpan potensi yang berbahaya yaitu
konflik sosial. Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa
paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun
kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama,
budaya dan kebutuhan di antara kita. Harapannya, dengan implementasi hidup yang
pluralis , akan membantu kita semua mengerti, menerima dan menghargai orang lain
yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Prinsip hidup pluralis sebagai wacana baru di Indonesia dapat
diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat
dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Tujuan utama
dari pengembangan hidup pluralis adalah
untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut
agama dan budaya yang berbeda, selain itu juga bertujuan mengubah pendekatan
pengajaran dan pembelajaran ke arah memberi peluang yang sama pada setiap warga
negara Indonesia. Untuk dapat membangun rasa pengertian, kebersamaan, dan
kedamaian, perlu usaha menanamkan konsep, nilai-nlai dan keberadaan dari etnis
atau golongan lain pada generasi penerus. Hal itu dapat ditempuh melalui
pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai
pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan
demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia secara
keseluruhan. Pendidikan multikultural dapat melatih dan membangun karakter
siswa/ mahasiswa agar mampu bersikap
demokratis, humanis dan pluralis dalam lingkungan mereka sehingga sekolah tidak
hanya mampu mrngantar siswa/ mahasiswa menjadi pandai tetapi untuk dapat
memiliki nilai-nilai demokrasi, humanisme, dan pluralisme serta cerdas dalam
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan multikultural
diharapkan dapat melakukan transformasi pendidikan untuk memperbaiki
kesalahan-kesalahan dari praktek-praktek diskriminatif, stereotipe dalam proses
pendidikan, sehingga dapat menanamkan rasa kebersamaan, keadilan dan
kemanusiaan yang selanjutnya dapat tercermin dalam tindakan-tindakan
orang-orang terdidik. Dalam pelaksanaannya mungkin banyak tantangan, kendala
yang utama datang dari para pengajar yang kurang memahami tentang konsep
multikultural, dan sulitnya bersikap netral untuk jauh dari sikap sterotipe dan
primordial. Namun sebesar dan seberat apaun tantangan tersebut, lembaga
pendidikan harus memulainya sebab hal ini tidak dapat dihindari.beberapa pakar
pendidikan bahkan mengatakan sudah merupakan kebutuhan mendesak tidak dapat
ditawar-tawar lagi.
3.2 Saran
Setelah
mengetahui kondisi yang telah ada, maka penulis memberikan saran-saran sebagai
berikut:
1. Marilah kita
laksanakan bersama- sama Wahdat Al- Adyan (prinsip hidup pluralis ) ,
karena hal tersebut menunjukkan pada kenyataan tentang adanya
kemajemukan. Dengan kata lain, pluralisme agama adalah bahwa tiap pemluk agama
dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam
usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercipanya kerukunan, dalam
kebinekaan. Keberagaman
adalah rahmat yang telah digariskan Allah, menolak kemajemukan sama halnya mengingkari
pemberian Ilahi. Perbedaan merupakan kodrat manusia. Karena perbedaan adalah
rahmat, maka kita optimis keberagaman
akan membawa kemaslahatan bangsa, bukan memecah bangsa.
2. Ingat, pemahaman yang didasarkan kesadaran
kemajemukan secara sosial-budaya-religi yang tidak mungkin ditolak inilah
disebut sebagai pluralisme. Yaitu sistem nilai yang memandang secara
positif-optimis dan menerimanya sebagai pangkal tolak untk melakukan upaya
konstruktif dalam bingkai karya-karya kemanusiaan yang membawa kebaikan dan
kemaslahatan.
DAFTAR PUTAKA
Depag RI, Al- qur’an dan terjemahnya
, Penerbit Asy- sifa’ semarang , Surat
Alhujurat: 13
Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia pasal
27
Kamus Inggris Indonesia , An English- Indonesian Dictionary, oleh John M. Echols dan Hasssan Shadily, PT. Gramedia Jakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia , Tim Penyusun: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Perum penerbitan dan percetakan : Balai Pustaka , BP. No. 3658
hal: 691-701
Dr. K.H. Said Aqil Siroj,
Tasyawuf Sebagai Kritik
Sosial , Ciganjur, Maret 2006,
hal 27
Prof . Dr. H.M. Amin Syukur ,
M.A. Tentang Tasyawuf ,pada kuliah hari
Selasa tanggal 15 Juni 2010 di Universitas
Darul Ulum Jombang .
BIBLIOGRAFI
Penulis I:
Nama : Arip Setyoadi,
S.Pd.I
Tempat Lahir : Mojokerto
Tgl. Lahir : 03 Juni 1962
Riwayat Pendidikan :
1. SDN Ngembeh I
Tahun lulus 1975
2. M.Ts. N Mojokerto Tahun lulus 1979
3. PGAN Mojokerto Tahun lulus 1982
4. D2 PAI IAIN Sunan Ampel Surabaya Tahun lulus
1997
5. S1 PAI STIT Raden Wijaya Mojokerto Tahun lupus 2008
6. Mahasiswa UNDAR
Jombang , Program Magíster
Studi Islam Pasca Sarjana lulus 2012
Riwayat pekerjaan
1. Sebagai guru Pendidikan
Agama Islam di SD mulai Th. 1985 s/d
sekarang
Riwayat organisasi :
1. Sekretaris KKGPAI Kec. Dlanggu Th 1995 – 2016
2. Sekretaris KKGPAI Kab. Mojokerto Th. 2016 – sekarang
https://youtu.be/siLEjhLetII
0 komentar:
Posting Komentar